Kamis, 24 Februari 2011

TEORI PROYEKSI AGAMA MENURUT LUDWIG FEUERBACH[1]


I.    Latar Belakang Permasalahan
Ludwig Feuerbach termasyhur sebagai salah seorang Hegelian Sayap Kiri.[2] Feuerbach memandang bahwa sistem filosofis yang sudah ditegaskan oleh Hegel adalah puncak tertinggi dari  rasionalisme Barat. Menurut Hegel (1770 – 1831), dalam kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri. Gagasan fundamental Hegel di atas dapat dimengerti sebagai berikut: bahwa kita, orang-orang merasa berpikir dan bertindak menurut kehendak atau selera kita, tetapi di belakangnya “roh semesta” mencapai tujuannya. Hegel memakai kata “kelihaian Akal Budi” (“die List der Vernunft”).[3] Roh semesta adalah pelaku sejarah yang sebenarnya tetapi seakan-akan dari belakang layar. Para pelaku manusia tidak sadar bahwa mereka didalangi olehnya. Hegel menekankan peranan Roh, Kesadaran, Akal Budi dan Ide.
Gagasan inti Hegel itu menjadi sasaran kritik Feuerbach. Bagi Feuerbach, sistem Hegelian itu tidak cocok dengan kenyataan indrawi yang konkret. Kenyataan indrawi yang konkret itu adalah alam material. Dengan demikian, filsafat Hegel dapat diterjemahkan dalam materialisme. Filsafat Hegel menurut Feuerbach adalah “teologi tersamar”. Idealisme Hegel harus diputarbalikkan karena bukan roh yang berkembang, melainkan materi.[4] Kenyataan alam indrawi yang konkret adalah alam material. Adanya alam dapat diketahui lewat pikiran; obyek dapat diketahui lewat subyek yang sadar. Dengan kata lain, manusia sebagai subyek menyadari alam hanya dengan cara menbedakan dirinya dari alam itu.
Hegel memberi kesan seakan-akan yang nyata adalah Allah, sedangkan manusia hanyalah wayangnya. Padahal yang nyata, tak terbantahkan, adalah manusia. Bukan manusia itu pikiran Allah, melainkan Allah adalah pikiran manusia. Yang disebut Allah adalah sebuah mimpi dari manusia. Kata Allah harus diganti dengan kata “hakekat manusia” karena manusia sudah terlalu lama diasingkan dari dirinya sendiri. Menurut Feuerbach, manusia harus dikembalikan pada dirinya sendiri. Hakekat manusia adalah rasio, kehendak dan hatinya. Rasio, kehendak dan perasaan dapat diidealisasikan sampai tak terhingga sehingga menjadi yang disebut “Allah”. Allah dipahami sebagai yang Mahatahu (rasio sempurna), yang Mahabaik (kehendak sempurna), dan Kasih (hati sempurna).

II.    Filsafat Baru Feuerbach (Teori Proyeksi Agama) sebagai Perlawanan atas Filsafat Lama Hegel
Feuerbach menyebut ajarannya sebagai filsafat baru. Yang dimaksud dengan filsafat baru adalah filsafat yang mendasari dirinya dan memusatkan penyelidikannya hanya pada pengalaman yang konkret-indrawi atau empiri (dari kata Yunani, empeiria yang berarti pengalaman nyata). Baginya, berfilsafat berdasarkan kenyataan konkret-indrawi adalah prinsipil sebab hanya dengan demikian kepastian dan kemantapan bisa diperoleh. Manusia tidak punya gagasan dan pengetahuan tentang kenyataan lain kecuali kenyataan indrawi. Kenyataan indrawi itu bersifat langsung-pasti. Manusia pada dasarnya hanya percaya pada eksistensi dari sesuatu yang ‘ada’nya dinyatakan lewat akibat-akibat dan tanda-tanda yang bisa diindra dan dirasakan. Dengan demikian, kebenaran, kenyataan, dan keindraan adalah identik.[5]
Pertayaan yang muncul adalah dari mana timbulnya ide-ide ketuhanan, misalnya ide tentang Allah, kalau dasar pengetahuan Feuerbach adalah pengalaman konkret-indawi? Jawaban Feuerbach atas pertanyaan di atas dikenal dengan nama teori proyeksi agama. Ide tentang Allah berasal dari keinginan ideal manusia akan ketidakterbatasan dan suatu keabadian. Keinginan ideal itu mengungkapkan dambaan dan cita-cita hidup manusia. Manusia tidak berdaya meraih cita-cita ideal itu, maka manusia berkat daya fantasi yang dimilikinya mulai menggagaskan adanya suatu entitas yang memiliki kekuatan untuk merealisasikan dambaan dan cita-citanya itu. Apa yang didambakan manusia, itulah yang dijadikan sebagai Allahnya. Oleh karenanya, Feuerbach mengatakan bahwa Allah tidak lain daripada sebuah cita-cita ideal manusia.
Penjelasan lebih lanjut atas teori di atas adalah sebagai berikut bahwa dengan menyebut Allah sebagai mahatahu, manusia sebenarnya hanya memenuhi dambaannya untuk bisa mengetahui segala sesuatu; dengan mengatakan Allah ada di mana-mana, manusia memuaskan keinginannya untuk tidak terikat pada ruang; dengan menyebut Allah itu kekal, manusia mewujudkan dambaannya untuk tidak terikat oleh waktu; dan selanjutnya dengan mengatakan Allah itu mahakuasa, manusia merealisir keinginannya untuk bisa berbuat apa pun yang dikehendakinya. Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah bahwa bukan Allah yang menciptakan manusia, melainkan sebaliknya Allah adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah sebuah proyeksi manusia.[6]

III.  Kaitan Teori Proyeksi Agama dengan Teori Alienasi
Inti kritik agama Feuerbach adalah bahwa manusia tidak diciptakan oleh Allah, tetapi Allah diciptakan oleh manusia. Ada tiga tahap dalam proses ini. Pertama, manusia mengalami bahwa dia dapat bertanya terus-menerus, bahwa dia mempunyai kesadaran yang seakan-akan tak terhingga. Kesadaran itu dapat memuat apa-apa saja, tidak pernah ditemukan batas-batasnya. Kedua, ketakterhinggaan yang mula-mula hanya suatu sifat dari kesadaran, akhirnya dijadikan sesuatu. Manusia menemukan ketakterhinggaan dalam dirinya sendiri dan itu kemudian dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, di luar diri manusia. Ketakterhinggan itu akhirnya dijadikan sebagai Allah. Ketiga, Allah yang hanya merupakan ciptaan manusia akhirnya dihormati dalam kebaktian. Itu berarti bahwa manusia menjadi hamba dari ciptaannya. Manusia memandang dirinya sendiri sebagai ciptaan dari ciptaannya.[7]
Teori proyeksi agama dari Feuerbach merupakan sebuah alienasi diri.[8] Dengan memproyeksi dirinya ke luar, manusia menganggap hasil proyeksinya itu sebagai sesuatu yang lain dari dirinya sendiri. Hasil proyeksi itu dianggapnya sebagai sebuah kenyataan otonom yang berdiri di luar dirinya dan menghadapi dirinya. Manusia juga merasakan bahwa hasil proyeksinya itu menghadapi dirinya sebagai obyek. Akhirnya manusia meletakkan dirinya lebih hina daripada hasil proyeksinya itu. Misalnya, manusia itu lemah sedangkan Tuhan itu mahakuasa, manusia itu jahat sedangkan Tuhan itu suci dan seterusnya. Dengan semua proses ini, manusia malah merasa terasing dari dirnya sendiri sebab dia tidak lagi mengenali bahwa Allah yang diagungkannya itu tidak lain dari hakikatnya sendiri.
Pandangan Feuerbach ini mengimplikasikan sikap gandanya terhadap agama. Di satu pihak, dia melihat agama mempunyai nilai posetif karena merupakan proyeksi hakikat manusia. Di dalam agama manusia melihat siapa dia, umpamanya bahwa manusia itu berkuasa, kreatif, baik, adil, atau berbelas kasih. Dalam hal ini, bagi Feuerbach agama merupakan harta karun manusia yang tersembunyi. Di lain pihak, Feuerbach melihat bahwa di dalam agama manusia sebenarnya memblokir dirinya sendiri untuk bisa menjadi semakin sesuai dengan cita-cita idealnya itu. Hal ini disebabkan oleh karena di dalam agama, hakikat manusia diobyektivasikan dan disembah sebagai entitas asing (=sebagai Allah). Gara-gara agama, apa yang sebenarnya merupakan potensi-potensi yang perlu direalisasikan manusia lenyap daripadanya. Orang-orang beragama mengasingkan dan melemparkan sifat-sifat unggulnya pada Allah sebagai mahakuasa, mahabaik, dan mahatahu. Dengan demikian, jelas bahwa agama mengasingkan dan memiskinkan manusia.
Menurut Feuerbach, agar keterasingan dan kemiskinan itu lenyap sehingga manusia bisa menjadi dirinya sendiri, maka manusia perlu meniadakan agama. Dia (manusia) harus menarik agama ke dalam dirinya sendiri. Di sana dia akan menemukan bahwa apa yang selama ini disapanya sebagai Allah sebenarnya adalah hakikatnya sendiri. Dengan kata lain, manusia harus menolak kepercayaan kepada Allah yang mahakuasa, mahabaik, mahaadil, dan mahatahu agar dia (manusia) sendiri menjadi kuat, baik, adil dan berpengetahuan. Manusia harus membongkar agama agar potensi-potensi manusia bisa bebas-keluar dan merealisasikan dirinya.

IV. Kritik atas Teori Proyeksi Agama Feuerbach
Cara berpikir Feuerbach telah menjadi titik pangkal bagi banyak bentuk ateisme. Beberapa kelemahan filsafat Feuerbach yang begitu berpengaruh. Pertama, Feuerbach mendasarkan teorinya pada ssuatu identifikasi yang tidak dapat diterima. Agama merupakan kesadaran dari ketakterhinggaan. Manusia mengalami ketakterhinggaan dari kesadarannya. Kesimpulan yang ditarik oleh Feuerbach adalah bahwa agama merupakan kesadaran dirinya sendiri. Kesimpulan ini terlalu cepat karena ketakterhinggaan yang dialami dalam kesadaran ketakterhinggaan yang dihormati dalam agama cukup berbeda. Manusia tidak berdoa pada keluasan pemikirannya. Kedua, Feuerbach memandang agama sebagai suatu monolog, suatu monolog di dalam subyek sendiri dengan perasaannya. Agama adalah suatu monolog dengan kesadaran yang tak terhingga. Cara berpikir Feuerbach sungguh subyektivitis. Segala sesuatu ditafsirkan sebagai sesuatu yang ada untuk saya.[9]

V.    Catatan kritis atas Filsafat Feuerbach
Pendapat Feuerbach bahwa agama merupakan proyeksi manusia ada benarnya juga. Dalam kenyataannya, orang yang beragama khususnya para pemimpin memerintahkan para pengikutnya untuk melakukan sesuatu atas nama Allah padahal sebenarnya semua hal itu adalah pantulan dari kehendaknya untuk berkuasa. Dengan mempelajari filsafat Feuerbach, orang beriman diajak bahkan didesak untuk bermawas diri dan mewaspadai laku hidup keagamaan, baik dalam lingkup pribadi maupun dalam lingkup jemaah.
Dalam filsafatnya, sebenarnya Feuerbach hanya bicara tentang fungsi agama bukan hakikat agama. Agama mempunyai fungsi psikologis sebagai proyeksi dambaan ideal kesempurnaan manusia yang tidak kesampaian. Dambaan itu lalu dipersonalisasikan sebagai Allah. Di sini, ada dua titik kritis dalam ateisme Feuerbach. Pertama, justru yang dibicarakan adalah fungsi agama, maka ateisme Feuerbach sama sekali tidak menyentuh pertanyaan dasariah; apakah Allah itu pada dirinya sendiri ada atau tidak ada? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh filsafat Feuerbach. Kedua, ateisme Feuerbach berkaitan dengan pandangan tentang Allah yang mucul dari proyeksi  daya fantasi kita atas kesempurnaan hakikat manusia. Misalnya pengertian Allah yang mahabaik muncul karena manusia mempunyai ideal mengenai kesempurnaan tentang yang baik. Feuerbach seharusnya mengakui bahwa manusia bisa beragama justru karena kemampuan jiwanya melampaui batas-batas kemampuan empiris-indrawi. Berkat dimensi ini, manusia sanggup mengarahkan diri pada Yang Tak Terbatas, Allah itu sendiri.






Daftar Pustaka


Hamersma, Harry. 1984
            Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta:Gramedia.

Hardiman, F. Budi. 2004
Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Magnis-Suseno, Franz. 2006
            Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.


Sumber lain :
Bahan Kuliah Sejarah Pemikiran Modern, L. Tjahjadi, Simon Petrus. “Sang Humanis-Ateis itu Bernama Feuerbach.



[1] Feuerbach lahir di Landshut, Jerman pada 28 Juli 1904. Karyanya yang paling penting dan termasyhur adalah Das Wessen des Christentums. Karya lain yang ia tulis adalah Das Wessen der Religion. Feuerbach meninggal dunia di Rechenberg dekat Nuremberg pada 13 September 1972.
[2] F. Budi Hardiman.  Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm.227
[3] Franz Magnis-Suseno. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 65
[4] Harry Hamersma. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1984, hlm. 64
[5] Diringkas dari bahan kuliah Sejarah Pemikiran Modern, Simon Petrus L. Tjahjadi. “Sang Humanis – Ateis itu bernama Feuerbach
[6] Franz Magnis-Suseno. Menalar Tuhan, hlm. 66
[7] Hary Hamersma. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, hlm. 65
[8] F. Budi Hardiman. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, hlm. 230
[9] Harry Hamersma. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, hlm. 66-67